Report 139 / Asia 2 minutes

Aceh: Komplikasi Paska Konflik

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

Ringkasan Ikhtisar

Situasi damai di Aceh masih terus bertahan. Tetapi meskipun pemerintah Yudhoyono dan banyak kalangan di Jakarta melihat hal ini sebagai sebuah cerita yang berakhir dengan happy ending, banyak warga Aceh yang menganggap hal ini hanya sebagai istirahat sementara dari sebuah konflik yang tidak dapat dielakkan akan terjadi lagi. Tingkah perilaku sejumlah pejabat GAM yang terpilih melalui pilkada dan para mantan anggota pasukan GAM menjadi salah satu alasan membayangnya pesimisme: para pemilih di Aceh tampaknya telah mengganti elite korup yang satu dengan yang lain. Pemerasan, perampokan dan illegal logging (penebangan liar) yang melibatkan para mantan anggota pasukan GAM – meskipun mereka bukanlah satu-satunya pelaku – menjadi alasan keprihatinan, dan program reintegrasi yang awalnya dimaksudkan untuk membantu para mantan anggota tempur GAM secara ekonomi telah dinodai oleh tujuan yang tidak jelas, serta kurangnya strategi dan keabsahan akuntabilitas. Tetapi masalah yang belum selesai antara Aceh dan Jakarta merupakan bom waktu yang sebenarnya, dan kedua belah pihak perlu membentuk sebuah forum yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini.

Terpilihnya anggota GAM sebagai pejabat propinsi dan kabupaten pada bulan Desember 2006 telah membantu menciptakan sebuah jaringan patronase yang menguntungkan: pekerjaan dan kontrak jatuh ke tangan sang pemenang. Namun demikian, tingkat pengangguran diantara para mantan pasukan GAM masih tetap tinggi dan mungkin menjadi salah satu faktor sejumlah insiden yang melibatkan cara-cara ilegal untuk mendapat uang dengan cepat. Badan Reintegrasi Aceh atau BRA sudah disfungsional sejak pertama kali dibentuk. Kepemimpinan yang baru sejak bulan April 2007 dan orientasi yang baru sejak bulan Agustus mungkin dapat menghadapi beberapa dari persoalan manajemen; namun apakah arah yang baru ini akan dapat memfasilitasi rekonsiliasi atau malah semakin mempolarisasikan masyarakat masih belum jelas. Tak seorangpun, termasuk para donor, tampaknya memiliki gagasan yang jelas mengenai apakah dana reintegrasi merupakan hak dibawah perjanjian damai Helsinki tahun 2005, sebuah instrumen bagi upaya rekonsiliasi masyarakat, kompensasi bagi kerugian di masa lalu, atau alat pemberdayaan ekonomi bagi individu-individu. Dugaan-dugaan adanya penyebaran uang yang tidak merata telah semakin memecah belah GAM yang sebelumnya memang sudah tidak bersatu dan terdesentralisasi.

Keretakan politik yang timbul sebelum pilkada antara para pemimpin yang berada di pengasingan di Swedia yang dipimpin oleh Malik Mahmud dan generasi yang lebih muda yang dipimpin oleh Irwandi Yusuf (sekarang menjadi gubernur Aceh) dan sejumlah komandan lapangan, telah menjadi semakin dalam. Dalam persiapan menjelang pemilu tahun 2009, para pendukung GAM mungkin telah mendaftarkan paling sedikit tiga partai yang berbeda. Salah satu dari partai tersebut yang telah menimbulkan kekuatiran besar di Jakarta, yang disebut “Partai GAM” dengan bendera pro-kemerdekaan sebagai simbolnya, sebenarnya hanya mewakili faksi minoritas Malik.

Namun, perselisihan internal malah akan reda, jika persoalan dengan Jakarta memanas. Dua masalah utama yang dapat menyebabkan hal itu terjadi menjelang pemilu, yaitu: operasi intelijen untuk memperkuat kekuatan “anti-separatis” dan tekanan dari GAM, kalau diterapkan secara tidak strategis, terhadap implementasi sepenuhnya dari nota kesepahaman Helsinki. Para pemimpin GAM punya kekhawatiran yang beralasan mengenai ketetapan dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang disahkan pada pertengahan 2006 yang melemahkan prinsip-prinsip pokok dari nota kesepahaman tersebut. Beberapa dari kekhawatiran ini bisa dan harus diselesaikan melalui sebuah mekanisme yang memungkinkan untuk melakukan dialog tingkat tinggi dan membahas persoalan-persoalan, terutama karena mereka berhubungan dengan kewenangan dan fungsi pemerintah otonomi Aceh. Tetapi para pemimpin GAM juga harus menyadari bahwa mencoba untuk mengajukan amandemen bagi UUPA dalam suasana menjelang pemilu malah mungkin akan seperti main api.

Sementara dialog berlangsung, para pemimpin GAM harus memusatkan perhatian kepada tugas-tugas menjalankan pemerintahan, memberi hasil dan manfaat yang nyata kepada warga Aceh dan mengendalikan para pendukung mereka, daripada melemparkan seluruh kesalahan atas kurangnya kemajuan kepada Jakarta. Sementara itu pemerintah pusat perlu menjamin bahwa badan intelijennya menahan diri dari kecenderungan mereka untuk turut campur.

Jakarta/Brussels, 4 Oktober 2007

Executive Summary

Peace in Aceh continues to hold but where the Yudhoyono government and many in Jakarta see a closed book with a happy ending, many Acehnese see a temporary respite from a conflict that will inevitably resume. The behaviour of many elected Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka, GAM) officials and ex-combatants is part of the reason for gloom: Acehnese voters seem to have substituted one venal elite for another. Extortion, robbery and illegal logging involving ex-combatants – although they are not the only culprits – are cause for concern, and a reintegration program initially aimed at helping former fighters economically has been marred by confusion of goals, lack of strategy and lack of accountability. But unresolved issues between Aceh and Jakarta are the real time bomb, and the two sides need to establish an appropriate forum for working these out.

The election of GAM members to provincial and district offices in December 2006 has helped create lucrative patronage networks: jobs and contracts have gone to the victors. Even so, unemployment of ex-combatants remains high and may be one factor in the rash of incidents involving illicit efforts to get quick cash. The Aceh Reintegration Board (Badan Reintegrasi Aceh, BRA) has been dysfunctional since its creation. New leadership since April 2007 and a new orientation since August may address some of the management problems; whether the latter will facilitate reconciliation or further polarise communities is not clear. No one, including donors, seems to have a clear idea whether reintegration funding is an entitlement under the 2005 Helsinki peace agreement, a vehicle for community reconciliation, compensation for past sacrifice or a mechanism for economic empowerment of individuals. Allegations over inequitable distribution of benefits have further divided a fractious and decentralised GAM.

A political rift that emerged before the elections between the exiled leadership in Sweden led by Malik Mahmud and a younger generation led by Irwandi Yusuf, now governor, and many of the field commanders, has deepened. In preparation for the 2009 elections, GAM supporters may field at least three separate parties. One that has caused consternation in Jakarta, called simply “GAM Party” with the GAM pro-independence flag as its symbol, in fact represents just Malik’s minority faction.

Internal feuding will subside, however, if problems with Jakarta heat up. Two issues in particular could cause that to happen in the lead-up to elections: intelligence operations to strengthen “anti-separatist” forces, and GAM pressure, applied unstrategically, for full implementation of the Helsinki Memorandum of Understanding (MoU). GAM leaders have valid concerns about provisions of the Law on Governing Aceh (LOGA) passed in mid-2006 that diluted or undermined key principles of that MoU. Some of these can and should be addressed through a mechanism that allows for top-level dialogue and working through issues, especially as they relate to the authority and function of Aceh’s autonomous local government. But GAM leaders also need to realise that trying to open LOGA to amendment by the parliament in Jakarta in a pre-election environment could be playing with fire.

While dialogue takes place, GAM leaders need to concentrate on governing, delivering tangible benefits to Acehnese with the considerable funding at their disposal and keeping their supporters under control, rather than laying all blame for lack of progress at Jakarta’s door. The central government needs to ensure that its intelligence agencies keep their interventionist tendencies in check.

Jakarta/Brussels, 4 October 2007

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.